Singapura – Di tengah tantangan perubahan iklim dan gangguan rantai pasok global, konsep Pertanian Perkotaan (Urban Farming) telah muncul sebagai pilar penting dalam strategi ketahanan pangan kota-kota besar yang padat. Negara-kota seperti Singapura dan Tokyo kini memimpin upaya untuk meningkatkan produksi pangan lokal secara signifikan di lahan yang terbatas.
Singapura, yang menargetkan produksi 30% dari kebutuhan nutrisi lokalnya secara domestik pada tahun 2030 (strategi “30 by 30”), berinvestasi besar pada pertanian vertikal (vertical farming) berteknologi tinggi. Struktur ini menggunakan sistem hidroponik dan pencahayaan LED dalam gedung bertingkat, memaksimalkan hasil per meter persegi. Demikian pula di Tokyo, ruang-ruang yang tidak terpakai, termasuk atap gedung dan bahkan terowongan bawah tanah, diubah menjadi lahan produksi sayuran berdaun hijau.
Keunggulan urban farming tidak hanya terletak pada peningkatan pasokan makanan, tetapi juga pada pengurangan jejak karbon logistik (makanan tidak perlu menempuh jarak jauh) dan penyediaan produk yang sangat segar (hyper-local). Tantangannya adalah biaya awal yang tinggi dan konsumsi energi. Namun, dengan inovasi dalam energi terbarukan dan sistem tertutup yang mendaur ulang air, urban farming membuktikan bahwa kota-kota dapat menjadi bagian dari solusi pangan, bukan hanya bagian dari masalah.